![]() |
cerpen |
Lantunan lagu
sayu terdengar di pagi itu ketika Lis menidurkan bayi kecil mungilnya yang baru
saja selesai ia mandikan, seorang putri cantik yang baru sebulan yang lalu ia
lahirkan dan merupakan anak kedua dari pernikahannya dengan Etang. Etang suami
nya itu adalah seorang sopir truk. Sudah hampir sebulan istri dan anak nya itu
Etang tinggal kan ke pulau seberang mencari kan nafkah untuk keluarga nya yang
tinggal di kampung bawah bukit, yang bernama bukit Jonjang Kambiang.
Minggu yang
lalu, suami nya sudah mengirimi nya sejumlah uang dan di selipkannya sepucuk
surat yang di dalam surat itu mengatakan bahwa ia akan bulan depan karena masih
banyak yang harus ia kerjakan di negeri orang itu, dengan berbekal kepercayaan
dan do’a istri nya Etang bekerja dan jarang pulang untuk menemui keluarga yang
ia tinggalkan itu.
Di kampung, Lis
tidak hanya tinggal dengan anak nya, ia juga tinggal dengan seorang ibu nya
yang selalu berada dengannya itu. Meskipun suami nya bekerja bukan berarti Lis
berdiam diri saja di rumah dengan hanya mengasuh dua anak nya yang masih kecil
itu. Lis di kampung juga bekerja menggarap sawah milik ibu nya yang tidak
seberapa jauh dengan rumahnya, tentu saja Lis harus seperti itu, sebab dia
sudah tidak bisa lagi mengharapkan Ibu nya yang sudah tua itu untuk mengerjakan
sawah sendirian, meski harus membawa anak nya ke sawah dan menitip kan kepada
si sulung putra nya yang baru berusia 6 tahun itu di pondok sawah milik mereka.
“nak, temani adik mu
ya, ibu mau bekerja dulu, kamu jangan nakal ya dan adik mu jangan ditinggal,
nanti dia nangis” kata Lis kepada anak nya itu.
Dengan polos nya
putra kecil nya itu menjawab “iya bu, jangan lama ya kerja nya.” Lis hanya
tersenyum menanggapi celoteh putra nya itu seraya menjawab, “tidak, oh, iya
nak, besok ayah mu pulang, kamu jangan nakal, ya.” anak nya itu langsung
berlari ke arah adik nya untuk mengatakan bahwa besok ayah nya akan pulang
seperti yang telah dikatakan ibu nya itu.
Dan, Lis pun
mulai bekerja di sawah dengan dibantu ibu nya itu, hingga matahari sudah mulai
di atas kepala. Lis berjalan menuju pondok untuk istirahat dan melihat kedua
anak nya, ia sangat senang putri kecil dan si sulung anak nya itu tidak rewel
dan pekerjaannya tidak terganggu.
Ketika hari
telah sore, Lis mengajak pulang ibu nya sambil berkemas dan akan menggendong
bayi nya itu dan si sulung langsung turun dari pondok membawakan tas tempat
pakaian adik nya. Si sulung berlari dengan senang nya tanpa takut akan jatuh,
sang nenek memanggil cucu nya itu sambil mengatakan “jangan lari, nek, nanti
kamu jatuh” dan si sulung pun berjalan pelan.
Yang seharusnya
suami Lis pulang di hari ini, namun, tak kunjung datang sambil melamun Lis
berkata pelan “kenapa ayah belum pulang, ya.” ibu nya yang ketika itu datang
dari belakang Lis menyahut “mungkin nanti malam dia sampe, sabar saja.” kata
ibu nya yang langsung duduk di samping nya.
Lis
menganggukkan kepala menatap kepada ibu nya itu, “mudah-mudahan dia baik saja
ya, bu.” ibu hanya tersenyum dan menyandarkan badan nya di kursi rotan yang
berada di dekat jendela.
“hari ini kamu jadi ke
pasar? Nanti kan suami mu pulang” kata ibu kepada Lis.
“jadi, bu” Lis berdiri
dan berkemas akan berangkat ke pasar sementara kedua anak nya masih tertidur
pulas itu. Dia akan memasakkan makanan kesukaan suami nya yang akan pulang.
Hanya ada satu
angkutan yang beroperasi untuk menuju pasar di kampung kecil itu, yang mana
angkutan itu hanya sekali dalam seminggu untuk narik penumpang yang akan pergi
ke pasar, di pinggir jalan di depan rumahnya Lis duduk di sebuah batu untuk
menunggu angkutan itu datang.
Ketika Lis
pulang, di dapati nya bayi kecil nya yang sedang di gendong oleh ibu nya,
namun, tak kunjung jua ada suami nya yang seharusnya sudah pulang itu datang di
rumah. Lis pun bertanya kepada ibunya apakah suami nya masih belum datang dan
ibu nya menjawab belum dan menyuruh Lis untuk memasak saja dulu.
*****
Hingga pagi pun
datang tak jua suami Lis datang, terdengar dari luar orang mengetuk pintu dan
Lis bergegas untuk membuka kan pintu ternyata yang ia lihat tukang pos datang
mengantarkan surat kepada Lis, yang mana surat itu adalah dari suami nya yang
masih saja di negeri seberang, suami nya melalui surat itu menyampaikan bahwa
ia tak jadi pulang dihari itu, dengan wajah sedih Lis letakkan surat itu dan
menggendong bayi nya.
Ibu keluar dari
kamar melihat Lis begitu murung menggendong bayi nya spontan bertanya “kenapa
Lis? Yang datang tadi itu siapa?”
“tidak kenapa-kenapa,
bu” jawab Lis tersenyum untuk menghilangkan kesedihannya “tukang pos mengantar
surat dari suami ku” sambung nya sambil melihat amplop surat yang juga berisi
sejumlah uang dari suaminya yang ia letakkan di meja.
“dia tak jadi pulang?”
kata ibu yang langsung menghampiri Lis.
“minggu besok,bu,
mendadak dia harus mengantarkan barang lagi.” jawab Lis menarik nafas panjang.
Sang ibu hanya
terdiam melihat anaknya itu, “si sulung mana,bu?” kata Lis bertanya pada ibu
nya.
“Dia main ke rumah
tetangga sebelah, waktu kamu nyuci tadi, dia minta di antar ibu kesana.”
“dia sudah makan, bu?”
“sudah, Lis. Tapi ibu
suapin.”
Setelah
percakapan itu suasana tenang dan diam, lalu, Lis berusaha menghibur diri
sendiri sembari menimang-nimang bayi nya.
Ketika bayi nya
tertidur, Lis kembali menyibukkan dirinya dengan pekerjaan rumah nya sambil
sesekali di buai nya kain anak nya.
Memang seminggu
terasa lama bagi Lis, apalagi untuk menunggu kedatangan suami nya yang sedang
di rantau itu, hingga pada hari senin ketika itu ketika di perjalanan menuju
pulang, sang suami menabrab mini bus karena dia dalam keadaan mengantuk
sehingga banyak korban jatuh pada kecelakaan itu, karena panik dan cemasnya
sang suami pun kabur dari tempat kejadian kecelakaan itu,
Dia tak lari ke
tempat jauh, suami Lis lari ke kampung ke rumah istri yang telah lama ia
tinggalkan, perasaan senang ketika ia bertemu dengan istri nya bercampur cemas
oleh musibah yang tengah menimpanya
Lis sangat
senang ketika membukakan pintu yang saat itu dia lihat suaminya yang ia
rindukan pulang. Sambil tersenyum suami yang berada di depan pintu langsung
masuk ke rumah dan di salami oleh Lis suaminya itu.
Etang suaminya
sama sekali tidak ingin membahas apa yang telah terjadi, langsung saja ia lihat
putri kecil nya yang sedang tertidur di ayunan dan di buai nya pelan ayunan
itu.
“kenapa ditunda-tunda
pulang nya, yah?” kata Lis dari dapur sedang membuatkan kopi untuk suaminya
itu.
“kerjaan ayah banyak,
bu.” kata Etang dengan nada yang kurang semangat. Lis tidak begitu
menghiraukan, karena dia beranggapan suaminya itu hanya kelelahan selama
beberapa hari menempuh perjalanan jauh.
Di letakkannya
kopi di meja di depan suami nya duduk, Etang yang terlihat cemas berulang kali
mengintip dari jendela dekat kursi dia duduk itu.
“kenapa, yah? Kok
ngintip-ngintip gitu?” kata Lis bertanya heran melihat tingkah suaminya itu.
“tidak kenapa-kenapa,
ayah cuma lihat si sulung, dari tadi belum lihat dia. Kemana dia, bu?”
“oh.. Dia tidur di
kamar dengan neneknya” jawab Lis tersenyum melihat suaminya itu.
Sang suami hanya
mengangguk dan masih saja dia mengintip di jendela itu.
Setelah seminggu
lamanya si Etang berada di rumah, berita tentang kecelakaan itu mulai tersebar.
Namun, warga kampung tidak mengetahui bahwa si Etang terlibat dalam kecelakaan
itu.
Si Etang semakin
cemas, tetap saja dia berusaha menyembunyikan perasaan cemasnya dari istri nya
itu.
Hingga esok
harinya, polisi datang ke kampung itu mencari rumah Etang, sehingga terdengar
oleh Etang kabar tersebut tanpa sepengetahuan istrinya.
Disiang itu
sampai lah polisi di rumah Etang. Etang yang sedang berada di dapur mendengar
suara orang mengetuk pintu, Lis yang ketika itu di dalam kamar keluar untuk
membuka kan pintu dan dilihatnya dua orang polisi yang berseragam lengkap
berdiri di depannya.
“selamat siang, bu,
apakah ini benar rumah bapak Etang” kata polisi tersebut dengan tegasnya.
“betul, pak. Saya
sendiri istrinya” jawab Lis dengan heran dan spontan bertanya kembali “ada apa,
pak?”
“kami ditugaskan untuk
menangkap bapak Etang atas kejadian tabrakan seminggu yang lalu” jawab polisi
itu.
Lis terdiam dan
meneteskan air mata sambil berlari ke dapur ingin melihat suaminya. Namun, tak
ia lihat suaminya karena suami nya itu sudah lari lewat pintu belakang
rumahnya.
*****
Hari yang
dilewati Lis sangat lah keras, sangat jarang Lis untuk dapat bertemu dengan
ayah dari anak-anak nya itu, ditambah lag kini harus dihadapkan dengan
permasalahan yang menurut Lis begitu menyakitkan.
Satiap hari nya
Lis selalu terlihat murung, seolah telah hilang semua kebahagiaannya.
Dia hanya sering
mengurung diri di kamar, bahkan si sulung putra nya menjadi jarang mendapat
perhatian dari nya.
Lis semakin
terpuruk hidupnya, sehingga tak tentu arah dia akan melakukan apa, suaminya
yang melarikan diri dari kejaran polisi menghilang tanpa kabar. Sehingga sampai
dia dihadapkan dengan kesulitan ekonomi.
Dengan keadaan
seperti itu, Lis pun menjadi hilang kendali karena untuk memberi makan
anak-anaknya sering mencuri hasil tanaman di kebun milik orang yang nanti nya
akan dia jual untuk menutupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Tak hanya
mencuri yang dilakukan Lis, kehormatannya pun dia jual kepada lelaki hidung
belang yang tidak bertanggung jawab, semua itu ia lakukan untuk menyambung
hidup dia, ibu dan anak-anaknya.
Hanya dunia
kelam itu lah yang kini dijalani oleh Lis agar dapat hidup tak jarang warga
memergoki Lis sedang mencuri di kebun milik orang, namun, hal tersebut tidak
pernah di besar-besarkan oleh warga kampung.
*****
Malam hari
dingin yang tenang seperti malam-malam biasanya menjadi heboh oleh
tertangkapnya Lis tengah melakukan tidak senonoh dengan laki-laki yang bukan
suaminya. Warga yang menagkapnya langsung meng arak-arak Lis keliling kampung
sebagai hukuman atas perbuatannya itu, Lis tak diam saja atas perlakuan warga
kampung itu, dia berusaha berontak dan menjerit-jerit menolak untuk mendapat
hukuman seperti itu. Namun, dengan jumlah warga yang banyak itu Lis dan
laki-laki itu tidak dapat melawan dan hingga akhirnya warga mencukur rambut Lis
sebagai hukuman dari warga kampung.
Tidak hanya
sekali Lis ditangkap warga atas perbuatan yang sama. Namun, demi menghidupi
anak-anaknya, Lis seperti tak tahu jera dan tak ingin menghentikan perbuatannya
itu. Bahkan, atas hubungan-hubungan di luar ikatan perkawinannya itu, dia hamil
dan melahirkan anak yang tidak diketahui warga kampung siapa ayah dari anak
yang dilahirkan Lis.
Semakin hari
hanya tekanan hidup yang dihadapi oleh Lis, sehingga membuatnya semakin tidak
berdaya akan cobaan yang selalu datang padanya.
Hidupnya yang
selalu dalam situasi kelam itu selalu membuatnya stres yang membuat Lis
mengalami gangguan kejiwaannya.
****
****